Setelah menerangkan amr, sekarang akan diterangkan lawan dari amr, yakni nahi & macam2nya. Mushonif menuliskan : ﻭﺍﻟﻨﻬﻰ ﺇﺳﺘﺪﻋﺎﺀ ﺃﻯ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺘﺮﻙ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﻣﻤﻦ ﺩﻭﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻠﻰ ﻭﺯﺍﻥ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻓﻰ ﺣﺪ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﻳﺪﻝ ﺍﻟﻨﻬﻰ ﺍﻟﻤﻄﻠﻖ ﺷﺮﻋﺎ ﻋﻠﻰ ﻓﺴﺎﺩ ﺍﻟﻤﻨﻬﻰ ﻋﻨﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺳﻮﺍﺀ ﺃﻧﻬﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ ﻛﺼﻼﺓ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﺻﻮﻣﻬﺎ ﺃﻭ ﻷﻣﺮ ﻻﺯﻡ ﻟﻬﺎ ﻛﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻨﺤﺮ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻰ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺮﻭﻫﺔ ﻭﻓﻰ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﺇﻥ ﺭﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻛﻤﺎ ﻓﻰ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﺤﺼﺎﺓ ﺃﻭ ﻷﻣﺮ ﺩﺍﺧﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﻓﻰ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﻤﻼﻗﻴﺢ ﺃﻭ ﻷﻣﺮ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻨﻪ ﻻﺯﻡ ﻟﻪ ﻛﻤﺎ ﻓﻰ ﺑﻴﻊ ﺩﺭﻫﻢ ﺑﺪﺭﻫﻤﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﻴﺮ ﻻﺯﻡ ﻟﻪ ﻛﺎﻟﻮﺿﻮﺀ ﺑﺎﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﻐﺼﻮﺏ ﻣﺜﻼ ﻭﻛﺎﻟﺒﻴﻊ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻟﻢ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻳﻔﻬﻤﻪ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ Nahi adalah : ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺪﺍﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﺪﻋﺎﺀ ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻣﻤﻦ ﻫﻮ ﺩﻭﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ "ucapan yang menunjukkan permintaan untuk meninggalkan sesuatu kepada org sebawahnya yg sifatnya wujub/harus". Sedamgkan nahi yg dimutlakkan : ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻟﻨﻬﻰ ﻳﻘﺘﻀﻰ ﺩﻭﺍﻡ ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻘﻴﺪ ﺑﺎﻟﻤﺮﺓ "nahi yg dimutlakkan menuntut untuk ditinggalkan slamanya, selama tdk disertai qoyid untk dilakukan skali saja". Contoh nahi yg dimutlakkan : ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺍﻟﺮﺑﺎjanganlah kalian memakan riba (berarti larangan memakan riba dsni berlaku slamanya, krna tdk ada qoyid yg menunjukkan dilakukan skali saja). Contoh nahi yg diqoyidi "cukup dilakukan sekali" adalah : ﻻ ﺗﺴﺎﻓﺮ ﺍﻟﻴﻮﻡ = jangan bepergian hari ini (berarti besok/lusa boleh bepergian). Larangan yg tdk bersifat mengharuskan, tdk bisa disebut nahi, sebagaimana larangan untk meninggalkan perkara makruh yg sifatnya hanya anjuran. Maka pada hakikatnya, makruh bukan termasuk perkara terlarang (an-manhiyyu 'anhu). Secara akal, perkara yg dilarang adalah perkara yg tercela. Maka nahi yg dimutlakkan berarti menunjukkan rusak (batal)nya perkara yg dilarang, baik brupa ibadah maupun mu'amalah. Larangan yg menjadikan batalnya perkara yg dilarang adalah larangan yg mengarah kepada : 1. Dzatiyah ibadah atau mu'amalah, seperti : a) larangan sholat & puasa bagi yg haidl. Larangan ini langsung mengarah kpd dzatnya ibadah, dalilnya hadits : ﺃﻟﻴﺲ ﺇﺫﺍ ﺣﺎﺿﺖ ﻟﻢ ﺗﺼﻞ ﻭﻟﻢ ﺗﺼﻢ "bukankah ketika wanita haidl, tdk diperbolehkan sholat & puasa". Maka bila wanita yg sdang haidl melakukan sholat atau puasa, maka puasa / sholatnya tidak sah atau dihukumi rusak / batal. b) Larangan agar tdk melakukan ba'i hashoh {jual beli dgn cara melempar kerikil untk menentukan barang yg akan dibeli} dengan tanpa menggunakan shighot. Larangan ini menunjukkan atas batalnya BA'I AL-HASHÖH, krn mengarah kpd shighot yg menjadi rukun (dzatiah) dri akad jual- beli. c) Larangan menjual anak binatang yg mash dlam kandungan, larangan ini mengarah kpd MABI' (barang yg dijual), krna janin dlm kandungan tdk bisa disbut harta, sdangkan syarat dari barang yg diperjual- belikan harus brupa harta (MAAL). Larangan ini menunjukkan atas batalnya akad jual-beli anak binatang yg msh brada dlm kandungan, krn mengarah kpd mabi' yg merupakan rukun dari akad jual-beli. 2. Perkara diluar ibadah yg slalu menetap dlm ibadah atau mu'amalah. Pengertian "selalu menetap" disini adalah tdk bisa dipisahkan. Artinya, ibadah maupun mu'amalah tdk akan bisa terwujud dgn tanpa perkara tersebut. Seperti contoh : a) Larangan berpuasa pada 2 hari raya, dgn dasar hadits : ﻧﻬﻴﻨﺎ ﻋﻦ ﺻﻴﺎﻣﻴﻦ ﻭﺑﻴﻌﺘﻴﻦ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺍﻟﻨﺤﺮ ﻭﺍﻟﻤﻼﻣﺴﺔ ﻭﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺬﺓ "kita dilarang dari dua macam puasa dan 2 macam jual-beli, yaitu puasa pada 'idul fitri & idul adha, jual-beli dgn menyentuh barang ditempat yg gelap & jual- beli dgn saling melemparkan". Larangan puasa pda hadits ini, tdk ditujukan kpd dzatiahnya puasa, tapi mengarah pda i'rodl 'an dliyäfatillah (berpaling dari suguhan Allah). Sedangkan berpaling dri hidangan Allah ini pasti terjadi pada diri org yg puasa. Sebab org yg berpuasa meninggalkan makan & minum, sdangkan org yg tdk makan & minum pd saat hari raya berarti menolak hidangan yg disuguhkan Allah untuk umatNYA. Maka puasa pada hari raya dihukumi haram & tdk sah (fasid). b) Larangan mengerjakan sholat sunah mutlak pada waktu2 yg dimakruhkan sholat. Yaitu saat {matahari terbit, matahari tepat diatas kepala kecuali pd hari jumat, setelah sholat asar, stlah sholat subuh, & saat matahari menguning menjelang maghrib}. Larangan disini tdk ditujukan kpd dzatiahnya sholat, tapi mengarah kpd "penggunaan waktunya". Sedangkan waktu itu merupakan perkara yg tak terpisahkan dri sholat, krn stiap sholat pasti membutuhkan kpd waktu. Maka sholat sunah pd waktu2 yg dimakruhkan itu hukumnya tdk sah atau fasid. c) Larangan menjual satu dirham ditukar dgn dua dirham (riba fadlol). Larangan ini ditujukan kpd kelebihan satu dirham yg merupakan sesuatu diluar mabi' namun ditetapkan didalam akad ba'i. Oleh karna ditetapkan dlm akad, maka keberadaannya tdk bisa lepas dri akad tersebut (bersifat mengikat) {an- nafahät, 67}. Bersambung yah
Thanks for reading & sharing ENDI NUGROHO
0 komentar:
Posting Komentar